Jurang Geni Patilas Eyang Suro Nginggil
Kradenan , OposisiNews .Co.Id – Desa Nginggil, sebuah desa di perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur tidak lepas dari cerita tokoh sakti yang berjuluk ' Pandito Gunung Kendeng ' dengan padepokan Suro Nginggil yang menorehkan sejarah fenomenal di tahun 60-an.
Menurut cerita salah satu warga nginggil Mbah Kawi ( 90 th-an ) yang pada waktu itu masih perawan desa dengan raut wajah menerobos kembali mengenang masa lalunya ia berkelakar , Siapa Eyang Suro Nginggil ?
" Eyang Suro Nginggil yang nama asli Mulyono Surodiharjo. Memiliki berbagai kelebihan ilmu pengobatan alternatif dan pengetahuan supranatural ' Sakti ' membuatnya menjadi tujuan / jujukan orang-orang di luar wilayah Nginggil yang sedang berkesusahan dan berguru ( nyantrik ) di pedepokan Suro Nginggil " , terang Mbah Kawi mengawali ceritanya .
" Karena kesaktian , santun dan asah asih asuh pada semua orang Mulyono Surodiharjo yang dulu berusia masih muda sekitar 45 tahun dipercaya menjadi Lurah Nginggil yang diberi gelar oleh rakyatnya Eyang Suro Nginggil " .
" Untuk menjaga masyarakatnya , Eyang Suro Nginggil lebih banyak menghabiskan waktunya untuk nepi / semedi di dalam hutan masih diwilayah Desa Nginggil tepatnya di seputar Jurang Geni yang sekarang tiap bulan Sura sering dikunjungi orang luar daerah untuk Tirakatan ", kata Mbah Kawi.
" Waktu itu saya tahu persis sosok Eyang Suro Nginggil selain sakti beliau tidak tamak layaknya kebanyakan pemimpin sekarang ini , seperti yang saya alami dan tahu sendiri , karena desa Nginggil berdekatan dengan Bengawan solo tiap kali menjala ( menangkap ) ikan di sungai beliau hanya sekali menebar jalanya dan hasilnya berapa-pun dibawa pulang , bahkan saat beliau haus dan minta kelapa muda pada warga beliau mengambil buah kelapa itu dengan menundukkan batangnya istilah Jawa Nglengkung ke dan biasanya ditukar dengan ikan tangkapannya " , imbuh bah Kawi .
Karena kesaktiannya dan dermawannya , banyak orang yang berdatangan dan menetap di desa Nginggil tidak terkecuali adanya orang-orang Partai Komunis Indonesia yang saat itu berjaya dengan ajaran Nasakomnya.
Eyang Suro Nginggil merupakan pengagum Presiden Soekarno maka tidak terpungkiri orang-orang Partai Komunis Indonesia yang tinggal / menyusup di padepokan Nginggil berkembang dan terayomi oleh beliau , bahkan tiap kali memberi wejangan cantrik dan pengikutnya sering terdengar yel-yel “Hidup Soekarno !” dan diselingi dengan pekikan “Hidup PKI !” dari orang - orang politik yang menyusup dan mampu beradaptasi dengan masyarakat yang saat itu diyakini buta politik.
" Pokoknya waktu itu desa Nginggil seperti Kota Kabupaten ramai dan banyak orang berjualan segala macam kebutuhan hidup dan pertanian , para pengikut dan cantrik pedepokan Nginggil tampak sibuk tiap hari melayani tamu Eyang Suro Nginggil dengan mengenakan baju hitam-hitam seret merah , ikat kepala batik dan kolor putih ", kenang Mbah Kawi mengingat masa itu.
Tahun 1965 kondisi politik nasional sedang kacau / panas dan kondisi kesehatan presiden Ir Soekarno yang saat itu sedang sakit mulai terpojok-kan oleh isu-isu politik dari orang-orang dekatnya dan mendapat hujatan dari para pelajar dan mahasiswa , Eyang Suro Nginggil justru membuat satuan pasukan pembela Soekarno.
Pasukan itu terdiri atas Pasukan Banteng Wulung yang beranggotakan 200 laki-laki dewasa dan Pasukan Banteng Sarinah dengan anggota 30 wanita yang pada akhir revolusi di identikan dengan Partai Komunis Indonesia dan Gerwani .
Semakin tidak menentunya kondisi politik nasional adanya gerakan G-30-PKI yang mengakibatkan 9 Petinggi Angkatan Darat meninggal disiksa dan dimasukkan sumur ' Lubang Buaya ' di wilayah Halim Perdana Kusuma , sementara Eyang Suro Nginggil disaat itu memiliki pasukan yang dianggap cukup berbahaya dan diidentifikasi dimasuki orang-orang PKI membuat militer resah.
Menurut refrensi catatan sejarah revolusi , Kekhawatiran militer yang saat itu dibawah Komando Soeharto sebagai Pangti TNI , berujung dikepungnya padepokan Eyang Suro Nginggil oleh pasukan yang dipimpin Mayor Sumardi. Tentara yang diterjunkan pun tidak sedikit jumlahnya, terdiri atas batalyon 408, batalyon 409, batalyon 410 dan satu kompi pasukan RPKAD dibawah komando Letnan Feisal Tanjung.
Masih menurut kesaksian Mbah Kawi , " Saat itu kondisi desa Nginggil kacau balau dimana-mana banyak tentara bawa senjata dan sebelumnya desa Nginggil dihujani Mortir ( bom ) , banyak warga yang coba melarikan diri keluar dari desa ditembakki oleh tentara dan mati dilokasi , jasadnya dibuang ke sungai Bengawan solo , namun tidak sedikit para pengikut Eyang Suro Nginggil yang tangannya terikat dibawa tentara ke tepi sungai untuk ditembak mati ".
Pengepungan berakhir pertempuran tersebut memakan korban sebanyak 70 pengikut Eyang Suro Nginggil. Jatuhnya korban ini membuat Eyang Suro Nginggil menyerah.
Selesai dialog, pasukan RPKAD menganggap bahwa Eyang Suro hendak melarikan diri. Akibatnya, Eyang Suro pun ditembak mati dengan senapan.
Peristiwa penembakan terhadap Eyang Suro ini tidak menghapus namanya dihati rakyat Nginggil karena sebagian rakyatnya Eyang Suro Nginggil korban kebiadaban politik yang dilakukan PKI , bahkan menurut fersi Eyang Suro Nginggil dibawa tentara yang keberadaannya dan jasadnya serta makamnya sampai sekarang masih misteri.
" Tidak benar kalau Eyang Suro Nginggil ditembak mati , saat itu beliau dinaikan mobil tentara dan dibawa entah kemana , sementara para pengikut Eyang Suro Nginggil yang tataran ilmunya sudah tinggi merubah wujudnya menjadi buaya dan bersemayam di tepi sungai Bengawan solo yang lebih dikenal dan dianggap sakral oleh semua yang melintasi dengan sebutan Wedi Lembut " , terang Mbah Kawi.
" Mesti Eyang Suro Nginggil sudah tidak ada , namun masih banyak para pengikutnya yang selamat dan mengunjungi desa Nginggil ditempat biasa digunakan menyepi Eyang Suro Nginggil dan menebarkan bunga di tepian sungai yang diyakini tempat muksanya para pengikut Eyang Suro Nginggil dan merubah wujudnya menjadi buaya penunggu Bengawan solo ", tutup Mbah Kawi
0 comments:
Posting Komentar