Oleh: Budi Hantara
OposisiNews.Co.Id-Pendidikan mengemban misi yang luhur, yaitu “Memanusiakan manusia untuk menjadi manusia mandiri dan bermartabat”. Sejarah telah membuktikan bahwa kebodohan menyebabkan bangsa Indonesia hidup terjajah dan kehilangan martabat sebagai manusia mandiri. Pada masa penjajahan, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh golongan tertentu. Golongan terpelajar yang merupakan motor penggerak perjuangan di Indonesia masih sangat terbatas.
Bertepatan dengan Peringatan Hari Pendidikan pada hari ini, Sabtu 2 Mei 2020 marilah kita tengok sejarah pendidikan di Indonesia. Dengan memahami makna sejarahnya maka kita akan bisa mengambil nilai-nilai positip yang bermanfaat bagi kehidupan. Para pejuang kita menyadari bahwa pendidikanlah yang mampu mengangkat harga diri bangsa dan menanamkan jiwa nasionalisme untuk melawan penjajah.
Pada abad 20 muncullah tiga tokoh pendidikan yang membuka jalan bagi lahirnya pendidikan di Indonesia. Mereka adalah M. Syafei tokoh INS (Indinesiche Nederlands School), Suwardi Suryaningrat tokoh Taman Siswa dan K.H. Dahlan pelopor pendidikan Muhammadiyah.
Suwardi Suryaningrat atau yang kita kenal dengan Ki Hajar Dewantara dipandang memiliki pengaruh yang paling besar bagi pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara sebagai Pahlawan Pendidikan Nasional, maka sebaiknya kita memahami pendidikan Taman Siswa. Hal ini dipandang perlu karena Ki Hajar Dewantara sangat identik dengan Taman Siswa. Ibarat manusia maka Ki Hajar Dewantara adalah rohnya dan Taman Siswa adalah raganya.
Teladan Ki Hajar Dewantara
Pendidikan Taman Siswa yang berdiri 1922, pada awalnya dikenal dengan nama “Natinonal Onderwedjs Institut Taman Siswa”. Lembaga yang didirikan Ki Hajar Dewantara ini terkenal dengan sebutan Pendidikan Nasional dengan Sistem Among. Sesanti “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani” kiranya perlu lebih dikobarkan lagi demi keberhasilan pendidikan masa kini.
Pendidikan yang berhasil bukan sekadar mampu melahirkan kecerdasan intelektual, tapi juga harus mampu membentuk kepribdian mandiri. Upaya menanamkan pendidikan karakter saat ini sangatlah tepat dalam rangka membentuk jiwa mandiri. Para guru memiliki tanggung jawab yang besar dan sangat menentukan berhasil tidaknya misi pendidikan.
Dalam mengajar termuat juga bahwa guru berusaha untuk memandirikan siswa. Kemandirian siswa merupakan hasil sebuah proses. Mengajar yang baik akan memberi pengalaman yang membangkitkan bermacam-macam sifat, sikap dan kesanggupan yang konstruktif.
Proses belajar yang baik memberi pengaruh yang baik pada perkembangan pribadi siswa. Siswa belajar berpikir kritis dan kreatif, belajar bekerja sama memecahkan masalah dan sebagainya. Untuk melahirkan generasi cerdas dan berkepribadian mandiri diperlukan figur teladan. Maka seorang guru idealnya harus mampu menjadi teladan bagi siswanya. Pola pikir dan pola tindak guru harus menjadi teladan. Seorang guru juga harus mampu menjadi motivator bagi keberhasilan para siswanya.
Guru ibaratnya seorang aktor yang serba bisa. Para guru adalah sutradara dan sekaligus aktor. Mulai menyusun rencana pembelajaran (sebagai sutradara), melaksanakan kegiatan belajar mengajar (sebagai aktor), guru menjadi pusat perhatian para siswa. Para guru memerankan tanggung jawabnya dengan ikhlas (tanpa pamrih). Keteladanan Ki Hajar Dewantara yang “Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe” semoga menjadi inspirasi bagi para guru dalam rangka mewujudkan misi pendidikan. Ki Hajar Dewantara telah berjuang tanpa pamrih untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari lembah kebodohan dan mengembalikan harga diri bangsa yang dirampas penjajah. Kini tongkat perjuangan melawan kebodohan untuk melahirkan generasi cerdas dan mandiri diserahkan pada para guru.
Jiwa besar Ki Hajar Dewatara memang pantas menjadi teladan. Dalam perjuangan, beliau tampil di depan sebagai pendekar yang gagah berani. Inilah wujud nyata dari sesanti Ing Ngarsa Sung Tulada yang ditunjukkan kepada kita. Pola pikir dan pola tindak sebagai seorang figur sangat jelas dan harus kita teladani. Demi kemajuan bangsanya Ki Hajar Dewantara berani menghadapi resiko yang berat dari penjajah Belanda. Keberaniannya ditunjukkan dengan penolakannya terhadap Undang-Undang Pengajaran swasta tanggal 13-9-1932 yang dikeluarkan pemerintah Belanda. Undang-undang tersebut tidak menguntungkan bagi pendidikan swasta sebab isinya demikian;
“Untuk mendirikan sekolah swasta guru-gurunya harus dari pemerintah dan bahan pengajarannya sama dengan sekolah negeri.”
Kita harus memahami bahwa pemerintah pada saat itu adalah penjajah Belanda. Jika diatur pemerintah penjajah Belanda maka perjuangan melalui pendidikan tidak mungkin bisa dilakukan. Maka nilai-nilai nasionalisme yang ditanamkan melalui pendidikan akan dimatikan oleh pemerintah penjajah. Oleh sebab itu Ki Hajar Dewantara memprotes dan akhirnya Undang-Undang Pengajaran tersebut dicabut.
Di samping menolak Undang-Undang Pengajaran, Ki Hajar Dewantara juga menolak tanggal 31 Agustus sebagai hari libur sekolah yang ditetapkan pemerintah Belanda. Ki Hajar Dewantara tahu bahwa tanggal 31 Agustus merupakan hari ulang tahun ratu Belanda. Penolakan didasarkan pada pertimbangan psikologis dan rasa nasionalisme. Jika kita ikut merayakan hari ulang tahun ratu Belanda yang notabene penjajah, maka harga diri kita akan semkin diinjak-injak dan secara tidak langsung kita mengakui pemerintah penjajah. Maka Ki Hajar Dewantara tetap mengajak murid-murid Taman Siswa masuk. Tindakan Ki Hajar Dewantara memberi gambaran yang jelas bahwa kecerdasan dan sikap kritis merupakan senjata yang ampuh untuk menghadapi segala bentuk penindasan. Sikap kritis yang ditunjukkan Ki Hajar Dewantara tidak sekadar berani menentang. Kritis yang didasari dengan alasan dan tujuan yang jelas, yaitu menolak segala bentuk penindasan. Penindasan di era modern tentunya tidak sama dengan penjajahan zaman dulu. Namun kecerdasan dan sikap kritis sebagai manusia mandiri tetap menjadi senjata utama.
Pendidikan di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat, terutama bila dilihat secara kuantitas. Berbagai lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal tumbuh bagai cendawan di musim hujan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan meningkat. Namun bila dilihat secara kualitas masih memprihatinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing bangsa Indonesia berada pada urutan bawah. Kita tidak menyangkal bahwa daya saing bangsa banyak dipengaruhi oleh kualitas pendidikan. Oleh karena itu seharusnya kita segera bangkit untuk membenahi pendidikan yang disinyalir kurang berkualitas.
Budaya mencari kambing hitam tak pantas dilakukan untuk mengurai benang kusut dalam dunia pendidikan kita. Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah harus memiliki visi dan misi yang sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pendidikan jangan dijadikan ajang bisnis atau dipolitisir. Semua pihak harus kembali pada tujuan pendidikan, yaitu;
- Meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan.
- Mempertinggi budi pekerti.
- Memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri (mandiri) serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Jika semua pihak bisa belajar dari keteladanan Ki Hajar Dewantara maka kualitas pendidikan kita niscaya akan semakin baik. Hal itu sesuai dengan pasal 4 Sisdiknas, yaitu
“Pendidikan diselenggarakan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan dengan memberikan keteladanan, membangun kemauan, mengembangkan kreativitas peserta didik.”
Pendidikan dan pembelajaran akan efektif apabila komunitas yang mendidik lebih dahulu menunjukkan keteladanan dan budaya pola pikir positif serta cerdas emosional spiritual. Dengan demikian para peserta didik yang telah dibekali IQ, EQ dan SQ, tinggal memodel para guru dan orang tuanya yang sekaligus merupakan habitat terbaiknya. (Amir Faisal dan Zulfanah, Menyiapkan Anak Jadi Juara, halaman 100).
Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah harus bekerjasama dan mengambil peran sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Orang tua dan masyarakat hanya jangan menuntut agar anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Mereka harus menjadi motivator bagi keberhasilan pendidikan. Pemerintah yang memiliki kewenangan membuat kebijakan demi kemajuan pendidikan di Indonesia biarkan bekerja secara profesional.**
Catatan:
Penulis adalah pelaku dan pemerhati pendidikan.
0 comments:
Posting Komentar