Opini
Oleh .Bambang Priyo W
Pimred Oposisi Inter Media

Seperti cerita anak kecil yang menemukan sebuah layang-layang yang tersangkut di pohon mangga dekat teras rumah. Layang-layang itu diambil dengan alat pengambil buah mangga dan lantas menyimpannya dengan keyakinan sudah menjadi miliknya secara utuh untuk melengkapi koleksi layang-layangnya yang kebetulan waktu itu sedang musim layang-layang.
Anak itu sering kali saban sore menerbangkan layang-layang di pojok-pojok latar rumah, dan beberapa di tanah lapang yang agak luas dengan memamerkan koleksi layang-layangnya.
Bahkan tidak segan-segan ia ceritakan temuan layang-layang di pohon mangga itu pada semua orang di kampungnya dengan rasa bangga.
Kebetulan salah satu temannya bahkan sudah seperti saudaranya memberikan usulan untuk mengembalikan layang-layang temuaanya yang sudah diketahui pemilik sebenarnya. Anak kecil itu sontak menolak usulan saudaranya itu , berbuntut retaknya persahabatan karena layang-layang yang hanya semusim mengalahkan persahabatannya yang tidak mengenal musim .
Bahkan anak kecil itu berusaha memprovokasi dengan mendramatisir temuan layang-layangnya yang mau dirampas oleh pemiliknya , bahkan salah satu temannya menanggapi hasutannya dan mengajurkan layang-layang itu di hancurkan/dibakar saja supaya tidak menimbulkan perselisihan , rebutan penguasaan layang-layang temuan itu.
Lagi-lagi anak kecil itu menolak karena merasa susah untuk mengambil layang-layang yang tersangkut di pohon mangga depan rumahnya . Anak itu berusaha menyembunyikan layang-layang itu kawatir jika diambil paksa oleh pemiliknya.
Dan sejak hari itu si anak berusaha menyisihkan uang sakunya untuk membeli layang-layang yang lebih bagus jika benar-benar layang-layang temuannya di minta pemiliknya yang jelas tidak mungkin berani ia lawan karena fisiknya lebih kekar dan lebih dewasa darinya.
Disuatu sore , benar pemilik layang-layang itu menghampiri di rumahnya untuk meminta layanganya yang telah hilang dan anak itu memberikan dengan tanpa ragu dan berbesar hati akan membeli layang-layang yang lebih bagus dari tabungan uang sakunya.
Setelah menginjak dewasa anak kecil itu baru sadar , rupanya kala itu dia sedang berpolitik. Meskipun waktu itu tidak tahu kalau itu adalah perilaku politis, karena anak itu hanya melakukan demi mempertahankan temuan layang-layang yang tersangkut di pohon mangga dekat teras rumah dan mengatisipasi jika layang-layang itu diminta pemiliknya Si anak usaha mengumpulkan uang saku untuk membeli layang-layang baru jika hal yang tidak diinginkan benar-benar terjadi.
Namun begitu agaknya saat ini . Para pelaku politik, baik yang menggunakan kendaraan partai politik maupun ,non-parlemen dan independen mesti mensiasati langkah politiknya jika terganjal oleh hal-hal yang tidak terduga dikancah politik , seperti gagalnya menerima mandat / desposisi dukungan kereta oleh tokoh sentral politik di pusat sedangkan sudah terjadi deklarasi sepihak diwilayah yang bakal menjadi ajang perebutan kekuasaan. Salah satunya mengambil hikmah dari cerita di atas.
Bahkan imet / predikat ' POLITIK ITU KEJAM TIDAK MENGENAL SIAPA LAWAN SIAPA KAWAN ' sering memicu terjadinya ceos diwilayah dan berpeluang terjadinya perpecahan pada tokoh yang disentralkan di wilayah .
Pada momen seperti itulah muncul pelaku politik berkantong tebal hembuskan kebersamaan untuk menawarkan diri bisa beriringan dengan tokoh yang disentralkan partai politik di wilayah itu , tentunya dengan iming-iming menanggung 60-90 persen permodalan ( biaya politik ) untuk mempertahankan ego-politik , melanggengkan warisan kekuasaan , dan mengamankan serta menambah jumlah suarannya, dan tentu saja dibubuhi profokasi untuk menumbangkan lawan politiknya dan melampiaskan rasa sakit hatinya atas komitmen awal yang harus terciderai oleh surat sakti ketua Partai Politik pusat.
Para pelaku politik ( tokoh sentral ) yang merasa tersakiti dari ingkar janji pasangan awal sering tidak tahu lagi bagaimana cara yang digunakan , cenderung gelap mata. Semuanya dilakukan dengan kedongkolan dan kesombongan, namun tidak jarang para pelaku politik mengunakan langkah politik alternatif dengan merangkul pasangan ( non-politik ) yang dianggap layak dan bermodal besar Pengusaha , Tokoh Agama untuk dipinang.
Ketika embrio berbalik arah dari pasangan yang sudah digadang-gadang harus pupus ditengah jalan . Mulailah babak - babak sakit hati di gaungkan ditengah warga dengan segala cara yang sudah biasa dan dianggap elok di dunia Pelaku Politik
Kerap Rakyat pinggiran , simpatisan partai dipolarisasi dan dihasut dengan dua kutup. Golongan Muslim dan golongan non-Muslim dan politik Dinasti.
Dalil-dalil suci agama dipaksa, digiring ke dalam gelanggang politik yang tidak tahu mana yang baik, mana yang buruk. Bahkan, mungkin, diksi “kebaikan” sudah tidak lagi ada dalam kamus perpolitikan.
Atau mungkin, juga ada adagium, “bahwa orang yang masih membicarakan kebaikan, sudah tidak lagi pantas menyatu dalam perkawanan politisi”.
Seharusnya perilaku moral universal dan agama yang memang dianggap sebagai pedoman hidup, jadi amnesia kehadirannya di dalam ruang politik. bahkan terkadang lebih miris ketika pelaku politik membawa agama dan moral universal untuk didesain ulang, sehingga berbalik menjadi alat justifikasi perilaku yang fakir adab. Baca.... ( GAGAL KADERISASI MENJADI YANG TERDEPAN )
0 comments:
Posting Komentar